Selasa, 21 Agustus 2012

I Pick U, Oppa

Title : I Pick U, Oppa
Genre : Family, Friendship, Sad
Main Cast : Lee HyukJae(EunHyuk), Lee SungMin, Lee NanHae (OC), Lee DongHae
Support Cast : Kim RyeoWook
Author : RistaMania
Length : OneShot (2.882 words)
Rating : PG-15 (?)
Disclaimer : All casts in this ff are belong to God, but this story (ff) is mine

----

SungMin POV

Cahaya sore membuat silau kedua mataku. Aku baru saja keluar dari music studio pribadiku. Aku melihat langit yang berwarna kuning kemerah-merahan itu dengan mata yang aku sipitkan. Aku menenteng tas gitarku.

“Dingin” gumamku tanpa sadar.

Aku melangkahkan kakiku menuju rumahku. Tapi, baru saja setengah jalan, rasanya rasa ingin pulang secepatnya tidak ada, menghilang tidak berbekas. Entah kemana kaki ini melangkah, aku menurut saja.

Beberapa menit kemudian, kakiku berhenti. Aku melihat keadaan sekitarku. Sungai Han. Aku tersenyum, mengingat tempat apa ini. Tempat yang menjadi saksi bisu dari seluruh kenanganku.

Aku makin mendekati tepi sungai Han. Aku lihat bayanganku di air itu. Entahlah, kini aku merasa jiwaku tidak menyatu dengan ragaku.

“SungMin oppa”, aku mendengar suara yang terasa tidak asing di kedua kupingku.

Aku membuka kedua mataku yang sedari tadi aku pejamkan. Aku menoleh ke sumber suara itu terdengar. Aku membelalakan kedua mataku. Seorang perempuan cantik, berambut panjang dikuncir satu, memakai celana panjang, kaos biru selutut dan jaket putih serta tas lempang kecilnya itu yang disampirkan dibahunya. Wajahnya yang putih dan cantik itu menjadi kemerah-merahan akibat terkena cahaya matahari sore ini. Aku mengenalinya. Benar-benar mengenalinya. Wajah cantik yang tidak berubah meski sudah dua tahun tidak bertemu. Wajah cantik yang tetap sama membuat jantungku berdegup kencang. Wajah cantik yang membuat aku sengsara dengan rasa rindu yang menghantuiku disetiap detik. Wajah cantik yang membuat aku lupa caranya bernafas.

Aku berjalan mendekatinya. Perempuan yang telah mengisi hatiku selama tiga tahun ini. Dan, sudah dua tahun aku tidak bertemu dengannya, karena study yang dia ambil di Paris.

“NanHae,” aku menyebut namanya dan memegang salah satu pipinya.

NanHae tersenyum manis. Amat manis. Senyum yang aku rindukan selama dua tahun ini.

Ne, ini aku, oppa” jawabnya yang mengerti dengan kegugupanku.

Setelah aku mendengar jawabannya barusan, aku langsung merengkuhnya ke dalam pelukanku.

“NanHae, kau kembali? Kau benar-benar kembali? Bogoshipo, NanHae” ungkapku sambil membelai lembut rambut panjangnya yang diikat satu itu.

Dia membalas pelukanku. Hangat. Tapi, entah kenapa aku merasa bahwa tubuh itu dingin.

“NanHae,” aku melepas pelukanku. “Kau dingin sekali. Apa kau sakit?”.

Aku benar-benar khawatir kalau pertanyaanku ini dijawab ‘iya’ oleh NanHae. NanHae hanya tersenyum kepadaku.

“Tidak, oppa. Gwencahanayo. Udara sore ini yang dingin” jelasnya.

Aku tersenyum, berharap itu kenyataan dan bukan kebohongan belaka.

“Duduk dulu, yuk, oppa!”. NanHae menarik tanganku untuk duduk disampingnya. Aku pun menurut.

Aku memeluknya dengan satu tanganku. Dia duduk dan menyandarkan kepalanya di salah satu bahuku. Kami berdua menikmati pemandangan yang sangat indah ini. Pemandangan yang sangat indah.

Oppa,” aku mendengar suaranya lirih memanggilku. Aku pun menoleh ke arahnya. Kini dia sudah tidak menyandar di salah satu bahuku lagi. Dia tersenyum manis ke arahku.

Sarangheyo, oppa” ucapnya lembut.

Aku tersenyum juga mendengarnya mengucapkan itu. “Nadoo sarangheyo”.

Entah siapa yang mulai, tapi kini wajahku dan wajah NanHae sudah dekat sekali. Aku sudah dapat merasakan hembusan napasnya menerpa wajahku. Dan, aku pun mencium bibirnya. Entahlah, aku merasa bibirnya dingin sekali. Setelah beberapa menit kemudian, NanHae melepas ciuman ini. Aku menatapnya heran. Bukan karena dia melepas ciuman ini, tapi aku merasa bahwa dia sedang sakit. Aku perhatikan  wajahnya dengan seksama, memastikan apa dugaanku bahwa NanHae sakit itu benar atau tidak.

Waeyo?” tanya NanHae lembut.

“Apa kau sakit? Kenapa tubuhmu itu dingin?”. Aku memegang salah satu pipinya.

Oppa, aku sudah bilang bahwa aku tidak sakit. Udara sore ini memang dingin” jelasnya. Sekarang aku benar-benar berharap bahwa dia tidak sedang berbohong.

A, ne, oppa.”Kini NanHae duduk menghadap ke sungai Han. “Tempat ini tidak jauh berubah ya?”. Ia tersenyum manis.

Ne.” Aku mengiyakan ujarannya tadi. Karena, memang benar, sungai Han tidak terlalu banyak mengalami perubahan.

Pemandangannya tidak jauh berubah semenjak aku menembak NanHae di sini, di sungai Han. Saat-saat yang tidak akan pernah aku lupakan. Saat aku dengan nekatnya mendekor sungai Han, agar terlihat cantik di malam itu. Di malam penuh salju. Dan, setiap aku berkencan dengannya, pasti tempat ini menjadi tempat tujuan pertama yang kita pilih. Entahlah, aku tidak tau kenapa.

“Aku sangat merindukan tempat ini.” Sekali lagi NanHae adalah orang yang berbicara, sementara aku hanya menyahut saja.

“Apa oppa sering kesini selama dua tahun ini?” tanya NanHae menoleh ke arahku. Dia selalu terlihat riang, senang, jika membahas sungai ini.

Aniyo, aku sangat jarang berkunjung kesini, bahkan hanya untuk sekedar lewat saja tidak sempat” jawabku jujur.

Mworago? Waeyo? Apakah oppa sesibuk itu?” tanya NanHae.
Ne, semenjak kau pergi ke Paris, aku benar-benar sibuk. Studioku selalu penuh, lalu orang yang meminta menjadi muridku baik dibidang seni ataupun material arts pun semakin banyak” jelasku.
Otthoke?”. Aku melihatnya benar-benar imut sekali. “Chukkae, oppa.

NanHae memelukku tiba-tiba. Aku hanya dapat terkekeh melihat tingkah lakunya ini. Tidak sampai lima menit kemudian, dia melepaskan pelukannya. Aku menatapnya lembut. Dia mengambil sesuatu dari dalam tas lempang kecilnya itu.

“Ini untukmu, oppa.” Dia memberikan aku sepucuk amplop merah dengan sebuah tempelan bergambar dua buah bintang. Aku menerimanya dengan bingung. “Jangan dibaca sebelum sampai dirumah, eoh?”. Kembali, dia tersenyum manis.
Ne.” Meski, bingung aku pun hanya dapat mengangguk mendengar permintaannya itu.

Tiba-tiba dia mengecup bibirku cepat. Aku kaget menerima perlakuannya yang seperti itu. Aku lihat NanHae berdiri dari tempat duduknya.

Waeyo?”. Aku berdiri dari tempat dudukku.

“Aku ingin pulang,” sudut bibirnya masih tertarik membuat sebuah senyuman yang indah.

“Kenapa harus secepat ini?” tanyaku memegang kedua tangan NanHae.

“Aku harus pulang, oppa. Aku sudah lelah” jelasnya melepaskan kedua tangannya yang aku pegang.

Annyeong giseyo.” NanHae berjalan menjauhiku. Dan, semakin lama punggungnya sudah tidak terlihat lagi, menghilang, tidak terlihat sama sekali.

----

Author POV
Matahari kini sudah terlelap di balik bagian dunia ini. Sinarnya sudah tidak lagi menyilaukan, menyinari, menghiasi belahan dunia ini. Tapi, Bulan yang seharusnya menggantikan matahari juga tidak tampak sama sekali. Bulan enggan menemani belahan dunia ini. Bukannya enggan menjalani tugasnya, tapi kini awan gelap menghalanginya untuk menjalani tugasnya itu. Tugas yang sudah sering ia jalani. Gelap. Dingin. Mungkin itu juga suasana yang kini menyelimuti laki-laki itu. Laki-laki yang kini sedang duduk di kursi kamarnya, sendiri. Kamarnya yang memang sengaja di desaign dengan warna cerahitu, seharusnya memberikan sedikit penerangan. Namun, percuma saja, kamar itu menjadi gelap gulita. Tidak terlalu banyak cahaya yang menghiasi kamar itu. Gelap. Suasana yang menyelimuti lelaki itu. Duduk sendiri, memegang secarik kertas. Terlihat jelas dari raut wajahnya bahwa dia benar-benar terluka, terluka dalam dihatinya.

----

SungMin POV

Aku terduduk di kursi kayu ini. Sendirian di dalam kamarku yang gelap ini. Aku menatap nanar secarik kertas yang aku pegang dengan lemas. Aku ambil amplop yang aku letakan di atas meja kayu sampingku ini. Aku membaca tulisan yang ada diamplop itu, ‘To MyPumpkin’. Kini tatapanku nanar menatap secarik kertas ini. Entah untuk keberapa kalinya, aku kembali membaca surat ini.
Annyeong haseyo, SungMin oppa
How are you ? I hope you’re fine. I’m fine in here.
Tidak terasa sudah 3 tahun kita menjadi sepasang kekasih. Tidak terasa juga sudah 2 tahun aku menetap disini, di Paris. Dan, tidak terasa sudah tanggal 1 Januari.
Saengil Chukkae , SungMin oppa
Dan…
Chukkae…

1 Januari…
Tepat hari ulang tahun oppa. Dan, tepat hari jadi kita berdua.
Dalam surat ini, sebenarnya bukan hanya itu yang ingin aku ucapkan kepadamu, oppa. Aku ingin ucapkan sesuatu kepadamu, oppa.
Jeongmal mianhe, oppa. Jebbal, jeongmal mianhe, SungMin oppa

Aku di Paris memang untuk mendalami dunia fashion. Tapi, aku juga punya alasan lain. Mianhe, aku tidak menceritakannya kepada oppa.
Lee Hyuk-jae, kakak kandungku. Keluargaku satu-satunya. EunHyuk oppa menjodohkan aku dengan sahabatnya yang ada disini. Namanya DongHae, Lee DongHae.
Dia sama denganku, dari Korea Selatan merantau ke Paris untuk mendalami dunia fashion. Dia namja yang tampan, baik, pintar menari and friendly. Aku tau EunHyuk oppa ingin yang terbaik untukku. Aku juga tau bahwa Enhyuk oppa mengetahui hubungan kita berdua. Dan, mungkin, karena oppa tidak dekat dengan EunHyuk oppa. EunHyuk oppa jadi merasa ragu dengan diri oppa
Itu bukan salahmu, oppa. Dan, itu juga bukan salah EunHyuk oppa.
Oppa tau,kan?
Aku sangat menyayangi EunHyuk oppa. Aku sangat-sangat membutuhkan EunHyuk oppa. Aku ingin membuat EunHyuk oppa bahagia. Aku ingin berbakti kepada EunHyuk oppa.
Mianhe, jeongmal mianhe. Aku menyetujui perjodohan itu.
Aku tau DongHae oppa mencintaiku, sangat amat mencintaiku. Aku tau itu. Tapi, sesempurna apa pun DongHae oppa. Entah kenapa nama yang terukir dihatiku, hanya namamu, oppa. Hanya sebuah nama Lee SungMin.

Jika aku disuruh memilih antara Lee SungMin atau Lee DongHae? Dalam waktu kurang dari satu menit, aku akan menjawab…
‘Aku memilih Lee SungMin’, aku memilihmu oppa.
Dan, jika aku disuruh memilih antara Lee SungMin atau Lee Hyuk-jae? Dalam waktu kurang dari satu detik, aku akan menjawab…
‘Aku memilih Lee Hyuk-jae’, aku memilih keluargaku.

Sarangheyo, SungMin oppa
Lee NanHae’

Aku benar-benar bingung harus melakukan apa saat ini. Pikiranku sudah kacau saat ini. Perasaanku pun tidak jauh berbeda.

EunHyuk….

Sebuah nama tiba-tiba muncul di dalam pikiranku. Aku langsung menyambar HPku yang berada diatas meja kayu itu juga. Aku cari sebuah kontak nama yang benar-benar aku butuhkan sekarang ini.

Yeoboseyo?”.

“Ryeowook-ah, bisakah kau menyediakan tiket pesawat yang sebentar lagi berangkat?” tanyaku to the point.
Mworago? Waeyo, hyung?” tanya Ryeowook-orang yang aku telepon.

“Sudahlah kau tinggal jawab saja” bentakku menjawab.

“Akh, arra, kau datang saja ke studioku, hyung.” Dari nada suara Ryeowook, aku sudah tau bahwa ia amat terkejut mendengar bentakanku barusan.

Aku pun berusaha membuat diriku sadar dengan apa yang aku lakukan. Aku menarik napas dalam-dalam, mencari ketenangan.

Mianhe, Ryeowook-ah” ucapku lembut. “Arra, aku akan segera datang ke studiomu”.
Ne, aku tunggu, hyung”.

Aku langsung menutup telepon ini. Aku langsung menyambar jaketku yang berada diatas kasur. Dan, aku langsung menggerakan kedua kakiku untuk segera berlari sekencang mungkin menuju studio Ryeowook yang letaknya tidak jauh dengan letak studioku. Tapi, masalahnya letak studioku dengan rumahku lumayan jauh. Tapi, aku tidak peduli. Aku harus sesegera mungkin bertemu dengan Ryeowook.

----

EunHyuk POV

Aku berdiri di beranda kamarku. Aku melihat ke atas langit yang mendung. Udara dingin hari ini benar-benar membuatku kedinginan. Tapi, entah kenapa aku enggan untuk masuk ke dalam. Aku benar-benar merasa nyaman disini.

Tiba-tiba aku merasa HPku bergetar. Aku segera merogoh HPku yang berada di dalam kantong jaketku. Nomor tidak dikenal. Siapa ya,,, pikirku.

“Hello?”. Aku berusaha seramah mungkin, meski hatiku sedang tidak dalam keadaan tenang.

Annyeong, EunHyuk-ah, ini aku SungMin” cerocos seseorang di sebrang sana yang bernama SungMin.

SungMin

Entah kenapa rasa sakit di dadaku ini makin terasa dan makin menyiksa diriku. Sesak. Aku pegang dada kiriku yang entah kenapa terasa sesak. Aku berusaha mengontrol napas, nada bicaraku dan emosiku agar tidak diketahui oleh SungMin.

Waeyo, hyung?” tanyaku.

“NanHae, dimana dia?”. Aku benar-benar kaget mendengar pertanyaanya itu. Dadaku kini benar-benar sesak.

Aku berusaha menahan tangisku. Aku berusaha menahan emosiku. Aku berusaha mengontrol nada bicaraku. Aku berusaha setenang mungkin.

“NanHae, tadi sore mendatangiku dan memberiku sebuah surat,” belum sempat aku berbicara SungMin sudah menyambar duluan. Dan, benar-benar membuatku kaget.

“Apakah dia memberimu surat dengan amplop merah dan bergambar dua bintang?” tanyaku. Aku sudah setengah berhasil mengendalikan semuanya.

Ne” jawabnya singkat.

“Datanglah kesini dan aku akan menceritakan semuanya kepadamu” jelasku langsung menutup telepon.

Aku merosot duduk. Aku luruskan kedua kakiku. Kedua kaki atau pun tanganku benar-benar lemas. Tubuhku pun seperti itu. Tangan kananku masih memegang HPku, meski tanganku sudah amat sangat lemas.

“NanHae, I miss you so much” gumamku tanpa sadar sambil memegang dada kiriku dan berusaha menahan airmataku yang aku tau sudah mulai menggenangi kedua sudut mataku. Dan, entah kenapa berbagai perasaan tidak enak mulai merasukiku.

----

SungMin POV

Pesawat yang aku tumpangi sudah mendarat dengan sempurna disalah satu bandara Paris. Aku memang segera pergi ke Paris dengan tiket yang sudah aku pesan kepada Ryeowook. Aku tidak mempedulikan hujan yang mengguyur. Aku terus berlari menuju rumah EunHyuk yang lumayan jauh dari bandara. Pabo. Memang. Bukannya naik kendaraan, justru aku memutuskan untuk berlari. Entahlah, akhir-akhir ini aku lebih suka berlari daripada naik kendaraan.

“Hah,” aku mengatur napasku yang berantakan. Sudah hampir 20 menit aku berlari, tapi aku tidak kunjung sampai di rumah EunHyuk.

Setelah 2 menit beristirahat, aku kembali berlari dan detik demi detik aku berusaha untuk lebih cepat berlari.

Apa pun akan aku lakukan. Aku tidak mau bahwa ini sebuah kenyataan. Ini pasti hanya sebuah mimpi’ batinku. Meski seakan bagian dari tubuhku menolak dengan apa yang barusan aku batinkan.

Sepuluh menit sudah berlalu.

“Hah,” aku kembali mengatur napasku yang berantakan. Namun, kali ini aku sudah berdiri tepat didepan rumah EunHyuk. Aku acuhkan tubuhku yang benar-benar sudah basah kuyup dan napasku yang masih memburu, aku berjalan mendekati pintu rumah itu.

TokTokTok

Aku ketuk pintu itu tiga kali. Tidak berapa lama kemudian seseorang membukakan pintu itu. Terlihat seorang lelaki berparas tampan, putih dan tinggi membukakan pintunya untukku. Tidak asing sama sekali untukku. Tidak salah lagi dia adalah Lee Hyuk-jae, EunHyuk, satu-satunya keluarga yang dimiliki NanHae.

“Ayo, masuk!”. EunHyuk mempersilahkan aku masuk.

Aku terus membututinya yang terus berjalan. Ternyata, dia membawaku ke lantai dua, kamarnya, tepatnya di beranda kamarnya. Aku duduk di bangku yang memang ada di sana, sementara EunHyuk berdiri memunggungiku. Ia melipat kedua tangannya didepan dadanya. Mencari kehangatan, sama denganku. Aku baru sadar bahwa suhu disini benar-benar dingin. Apalagi kini sedang hujan, dan keadaan tubuhku yang sudah basah kuyup.

“Sudah 13 hari NanHae tidak ada di dunia ini. Dia sudah meninggal, hyung” ujar EunHyuk, sebelum aku ingin mulai pembicaraan. Dan, dapat membuat aku benar-benar terkejut.

Aku mohon katakan bahwa kau hanya bercanda, Lee Hyuk-jae’ batinku.

“Dia…”.

Susah payah dia bersuara. Kini dia menoleh ke arahku. “Surat itu, dia menulisnya 2 hari sebelum dia meninggal” tambahnya. Aku benar-benar terkejut mendengarnya.

“Aku mohon, ini hanya mimpikan” gumamku tanpa sadar.

“Dia meninggal saat dia ingin mengirimkan surat itu kepadamu secara langsung. Langsung menemuimu. Padahal, jelas-jelas ada DongHae di belakangnya. Dia tertabrak truk. Benar-benar tidak dapat dibayangkan” jelasnya. Kini tubuhku benar-benar tidak bertenaga.
“Dia pernah meminta izin kepadaku untuk pulang ke Korea. Untuk bertemu dengan hyung.” EunHyuk memberikan penjelasan lebih lanjut, membuatku berusaha sekuat tenaga untuk mendengarkannya. “Tapi, aku tidak mengijinkannya. Karena, aku masih ragu dengan dirimu, hyung. Mianhe”. Aku berusaha menarik sudut bibirku agar tersenyum. Namun, itu benar-benar susah. “NanHae tidak menunjukan kemarahannya kepadaku, meski aku tau bahwa dia sangat marah dengan aku” tambahnya lagi. “Dan, saat DongHae mengajaknya jalan-jalan ke taman, tidak aku sangka ternyata dia berniat pergi tanpa mengantongi izin dariku”. EunHyuk berhenti sejenak. Menarik napasnya dalam-dalam. Aku tau dia berusaha menahan air mata yang sudah menggenang di kedua sudut matanya. Kini dia berdiri menghadapku. Namun, ia menundukan kepalanya. Membuat rambutnya yang panjang menutupi wajahnya. “Dan, DongHae dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat NanHae kabur dari sampingnya dan berlari ketengah jalan. Lalu, sebuah truk menabraknya. Dan, keadaan NanHae sangat mengenaskan. Aku benar-benar tidak sanggup melihatnya. Saat aku cari surat yang ditunjukan NanHae untukmu, surat itu menghilang entah kemana. Aku berniat ingin memberikannya kepadamu, hyung. Mianhe, surat itu tidak dapat aku temukan.”

Aku memejamkan kedua mataku. Aku berusaha meguatkan diriku. Aku berjalan mendekati EunHyuk. Aku pegang salah satu pundak EunHyuk.

“Dan, itu semua gara-gara kau, SungMin hyung.”

Aku mendengar sebuah suara yang asing untukku terdengar dari belakang tubuhku. Sontak aku membalikan badanku, aku pun sempat melihat EunHyuk juga mengangkat wajahnya. Kini aku berdiri bersebelahan dengannya. Aku melihat orang yang sama sekali tidak aku kenal itu kini berdiri menghadapku dan EunHyuk.

“Jika saja NanHae tidak mengenalmu, tentu saja NanHae tidak akan mati dengan cara seperti itu. Tentu saja NanHae tidak akan tertabrak truk, karena ingin kabur menemuimu” bentaknya lagi. Dan, kini aku tau siapa dia. DongHae. Lelaki yang dijodohkan dengan NanHae.

Aku melihat tangannya mengambil sesuatu dari balik jaketnya. Aku membelalakan kedua mataku. Kini DongHae berdiri sambil memegang pistol yang moncongnya diarahkan ke diriku.

“Seharusnya kau tidak ada saja, hyung. Pasti kini aku sudah menikah dengan NanHae” teriaknya lagi sambil menarik pelatuk pistol itu.

Reflekku benar-benar lambat.

DOR

BRUK

Suara tembakan dan sebuah benda jatuh terdengar bersamaan. Aku merasakan tubuhku sangat sakit, tapi bukan di dadaku, melainkan di seluruh tubuhku. Dan, aku yakini bahwa benda jatuh itu adalah aku. Kemudian, aku membuka kedua mataku. Aku berusaha untuk bangkit duduk. Kedua mataku terbelalak melihat EunHyuk sudah terbaring lemah di depanku, bersimbah darah merah yang segar. Segera, aku mendekatinya. Aku pangku kepalanya. Aku melihat darah terus keluar dari dada kirinya yang aku yakini tengah bersarang peluru DongHae tadi.

“EunHyuk-ah! EunHyuk-ah!”.  Aku menepuk salah satu pipinya berkali-kali, berusaha membuatnya tetap sadar. Namun, tidak ada respon sedikit pun dari EunHyuk. Matanya masih terpejam, rapat sekali. Bibirnya pun tertutup rapat dan terlihat sangat pucat. Namun, terlihat sebuah senyum sipul di sana.

“EunHyuk-ah.” Kini airmataku benar-benar jatuh. Jatuh membasahi wajah EunHyuk.

Aku mengangkat kepalaku, menatap DongHae. Aku tersenyum miris melihat keadaan DongHae. Namja itu sudah terperosok duduk menghadapku, tatapannya kosong menatap tubuh EunHyuk, tubuhnya terlihat bergetar hebat. Pistol yang tadi ia gunakan sudah berada jauh dari sisinya. Aku yakin bahwa ia sangat menyesal. Bagaimana tidak? EunHyuk adalah sahabatnya. Sahabat terdekatnya. Senyum mirisku tiba-tiba hilang bersamaan kedua mataku terbelalak. Bagaimana tidak? Aku melihat sesosok perempuan dengan pakaian serba putih. Tidak asing untukku. Perempuan itu, perempuan yang aku cintai. Perempuan bernama lengkap Lee NanHae. Dia tengah tersenyum kepadaku.

Perlahan, aku melihat bibirnya bergerak mengucapkan sebuah kalimat tanpa suara. ‘Gomawo, oppa. Aku ingin terus bersama EunHyuk oppa, selamanya. Karena, aku hanya membutuhkannya. Aku hanya membutuhkan EunHyuk oppa.’

Kemudian, aku dapat mendengar suaranya kembali. Suara yang sangat aku rindukan. Suara NanHae. Suaranya itu terdengar lembut di kedua kupingku.

Jika aku harus memilih antara Lee SungMin dan Lee DongHae, dalam waktu kurang dari satu menit aku akan menjawab bahwa aku memilih Lee SungMin, my lovely. Dan, jika aku harus memilih antara Lee SungMin dan Lee Hyuk-jae, dalam waktu kurang dari satu detik aku akan menjawab bahwa aku memilih Lee Hyuk-jae, my family’.

The End…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar