Title : I Pick U, Oppa
Genre : Family, Friendship, Sad
Genre : Family, Friendship, Sad
Main Cast : Lee HyukJae(EunHyuk), Lee SungMin, Lee NanHae (OC), Lee DongHae
Support Cast : Kim RyeoWook
Author : RistaManiaLength : OneShot (2.882 words)
Rating : PG-15 (?)
Disclaimer : All casts in this ff are belong to God, but this story (ff) is mine
----
SungMin POV
Cahaya sore membuat silau kedua
mataku. Aku baru saja keluar dari music studio pribadiku. Aku melihat langit yang berwarna
kuning kemerah-merahan itu dengan mata yang aku sipitkan. Aku menenteng tas
gitarku.
“Dingin” gumamku tanpa sadar.
Aku melangkahkan kakiku menuju
rumahku. Tapi, baru saja setengah jalan, rasanya rasa ingin pulang secepatnya
tidak ada, menghilang tidak berbekas. Entah kemana kaki ini melangkah, aku menurut
saja.
Beberapa menit kemudian, kakiku
berhenti. Aku melihat keadaan sekitarku. Sungai Han. Aku tersenyum, mengingat
tempat apa ini. Tempat yang menjadi saksi bisu dari seluruh kenanganku.
Aku makin mendekati tepi sungai
Han. Aku lihat bayanganku di air itu. Entahlah, kini aku merasa jiwaku tidak
menyatu dengan ragaku.
“SungMin oppa”, aku mendengar suara yang terasa tidak asing di kedua
kupingku.
Aku membuka kedua mataku yang
sedari tadi aku pejamkan. Aku menoleh ke sumber suara itu terdengar. Aku membelalakan
kedua mataku. Seorang perempuan cantik, berambut panjang dikuncir satu, memakai
celana panjang, kaos biru selutut dan jaket putih serta tas lempang kecilnya
itu yang disampirkan dibahunya. Wajahnya yang putih dan cantik itu menjadi
kemerah-merahan akibat terkena cahaya matahari sore ini. Aku mengenalinya.
Benar-benar mengenalinya. Wajah cantik yang tidak berubah meski sudah dua tahun
tidak bertemu. Wajah cantik yang tetap sama membuat jantungku berdegup kencang.
Wajah cantik yang membuat aku sengsara dengan rasa rindu yang menghantuiku
disetiap detik. Wajah cantik yang membuat aku lupa caranya bernafas.
Aku berjalan mendekatinya.
Perempuan yang telah mengisi hatiku selama tiga tahun ini. Dan, sudah dua tahun
aku tidak bertemu dengannya, karena study
yang dia ambil di Paris.
“NanHae,” aku menyebut namanya
dan memegang salah satu pipinya.
NanHae tersenyum manis. Amat
manis. Senyum yang aku rindukan selama dua tahun ini.
“Ne, ini aku, oppa”
jawabnya yang mengerti dengan kegugupanku.
Setelah aku mendengar jawabannya
barusan, aku langsung merengkuhnya ke dalam pelukanku.
“NanHae, kau kembali? Kau
benar-benar kembali? Bogoshipo, NanHae”
ungkapku sambil membelai lembut rambut panjangnya yang diikat satu itu.
Dia membalas pelukanku. Hangat.
Tapi, entah kenapa aku merasa bahwa tubuh itu dingin.
“NanHae,” aku melepas pelukanku. “Kau
dingin sekali. Apa kau sakit?”.
Aku benar-benar khawatir kalau
pertanyaanku ini dijawab ‘iya’ oleh NanHae. NanHae hanya tersenyum kepadaku.
“Tidak, oppa. Gwencahanayo. Udara
sore ini yang dingin” jelasnya.
Aku tersenyum, berharap itu
kenyataan dan bukan kebohongan belaka.
“Duduk dulu, yuk, oppa!”. NanHae menarik tanganku untuk
duduk disampingnya. Aku pun menurut.
Aku memeluknya dengan satu
tanganku. Dia duduk dan menyandarkan kepalanya di salah satu bahuku. Kami
berdua menikmati pemandangan yang sangat indah ini. Pemandangan yang sangat
indah.
“Oppa,” aku mendengar suaranya lirih memanggilku. Aku pun menoleh ke
arahnya. Kini dia sudah tidak menyandar di salah satu bahuku lagi. Dia
tersenyum manis ke arahku.
“Sarangheyo, oppa” ucapnya
lembut.
Aku tersenyum juga mendengarnya
mengucapkan itu. “Nadoo sarangheyo”.
Entah siapa yang mulai, tapi kini
wajahku dan wajah NanHae sudah dekat sekali. Aku sudah dapat merasakan hembusan
napasnya menerpa wajahku. Dan, aku pun mencium bibirnya. Entahlah, aku merasa
bibirnya dingin sekali. Setelah beberapa menit kemudian, NanHae melepas ciuman
ini. Aku menatapnya heran. Bukan karena dia melepas ciuman ini, tapi aku merasa
bahwa dia sedang sakit. Aku perhatikan
wajahnya dengan seksama, memastikan apa dugaanku bahwa NanHae sakit itu
benar atau tidak.
“Waeyo?” tanya NanHae lembut.
“Apa kau sakit? Kenapa tubuhmu
itu dingin?”. Aku memegang salah satu pipinya.
“Oppa, aku sudah bilang bahwa aku tidak sakit. Udara sore ini memang
dingin” jelasnya. Sekarang aku benar-benar berharap bahwa dia tidak sedang
berbohong.
“A, ne, oppa.”Kini NanHae duduk menghadap ke
sungai Han. “Tempat ini tidak jauh berubah ya?”. Ia tersenyum manis.
“Ne.” Aku mengiyakan ujarannya tadi. Karena, memang benar, sungai
Han tidak terlalu banyak mengalami perubahan.
Pemandangannya tidak jauh berubah
semenjak aku menembak NanHae di sini, di sungai Han. Saat-saat yang tidak akan
pernah aku lupakan. Saat aku dengan nekatnya mendekor sungai Han, agar terlihat
cantik di malam itu. Di malam penuh salju. Dan, setiap aku berkencan dengannya,
pasti tempat ini menjadi tempat tujuan pertama yang kita pilih. Entahlah, aku
tidak tau kenapa.
“Aku sangat merindukan tempat
ini.” Sekali lagi NanHae adalah orang yang berbicara, sementara aku hanya
menyahut saja.
“Apa oppa sering kesini selama dua tahun ini?” tanya NanHae menoleh ke
arahku. Dia selalu terlihat riang, senang, jika membahas sungai ini.
“Aniyo, aku sangat jarang berkunjung kesini, bahkan hanya untuk
sekedar lewat saja tidak sempat” jawabku jujur.
“Mworago? Waeyo? Apakah oppa sesibuk itu?” tanya NanHae.
“Ne, semenjak kau pergi ke Paris, aku benar-benar sibuk. Studioku
selalu penuh, lalu orang yang meminta menjadi muridku baik dibidang seni
ataupun material
arts pun semakin banyak” jelasku.
“Otthoke?”. Aku melihatnya benar-benar imut sekali. “Chukkae, oppa.”
NanHae memelukku tiba-tiba. Aku
hanya dapat terkekeh melihat tingkah lakunya ini. Tidak sampai lima menit
kemudian, dia melepaskan pelukannya. Aku menatapnya lembut. Dia mengambil
sesuatu dari dalam tas lempang kecilnya itu.
“Ini untukmu, oppa.” Dia memberikan aku sepucuk amplop
merah dengan sebuah tempelan bergambar dua buah bintang. Aku menerimanya dengan
bingung. “Jangan dibaca sebelum sampai dirumah, eoh?”.
Kembali, dia tersenyum manis.
“Ne.” Meski, bingung aku pun hanya dapat mengangguk mendengar
permintaannya itu.
Tiba-tiba dia mengecup bibirku
cepat. Aku kaget menerima perlakuannya yang seperti itu. Aku lihat NanHae
berdiri dari tempat duduknya.
“Waeyo?”. Aku berdiri dari tempat dudukku.
“Aku ingin pulang,” sudut
bibirnya masih tertarik membuat sebuah senyuman yang indah.
“Kenapa harus secepat ini?”
tanyaku memegang kedua tangan NanHae.
“Aku harus pulang, oppa. Aku sudah lelah” jelasnya
melepaskan kedua tangannya yang aku pegang.
“Annyeong giseyo.” NanHae
berjalan menjauhiku. Dan, semakin lama punggungnya sudah tidak terlihat lagi,
menghilang, tidak terlihat sama sekali.
----
Author POV
Matahari kini sudah terlelap di
balik bagian dunia ini. Sinarnya sudah tidak lagi menyilaukan, menyinari,
menghiasi belahan dunia ini. Tapi, Bulan yang seharusnya menggantikan matahari
juga tidak tampak sama sekali. Bulan enggan menemani belahan dunia ini.
Bukannya enggan menjalani tugasnya, tapi kini awan gelap menghalanginya untuk
menjalani tugasnya itu. Tugas yang sudah sering ia jalani. Gelap. Dingin.
Mungkin itu juga suasana yang kini menyelimuti laki-laki itu. Laki-laki yang
kini sedang duduk di kursi kamarnya, sendiri. Kamarnya yang memang sengaja di desaign dengan warna cerahitu,
seharusnya memberikan sedikit penerangan. Namun, percuma saja, kamar itu
menjadi gelap gulita. Tidak terlalu banyak cahaya yang menghiasi kamar itu.
Gelap. Suasana yang menyelimuti lelaki itu. Duduk sendiri, memegang secarik
kertas. Terlihat jelas dari raut wajahnya bahwa dia benar-benar terluka,
terluka dalam dihatinya.
----
SungMin POV
Aku terduduk di kursi kayu ini.
Sendirian di dalam kamarku yang gelap ini. Aku menatap nanar secarik kertas
yang aku pegang dengan lemas. Aku ambil amplop yang aku letakan di atas meja
kayu sampingku ini. Aku membaca tulisan yang ada diamplop itu, ‘To MyPumpkin’. Kini tatapanku nanar
menatap secarik kertas ini. Entah untuk keberapa kalinya, aku kembali membaca
surat ini.
‘Annyeong haseyo, SungMin oppa
How are you ? I
hope you’re fine. I’m fine in
here.
Tidak terasa sudah 3 tahun kita menjadi sepasang kekasih. Tidak terasa
juga sudah 2 tahun aku menetap disini, di Paris. Dan, tidak terasa sudah
tanggal 1 Januari.
Saengil Chukkae , SungMin oppa
Dan…
Chukkae…
1 Januari…
Tepat hari ulang tahun oppa. Dan, tepat hari jadi kita berdua.
Dalam surat ini, sebenarnya bukan hanya itu yang ingin aku ucapkan
kepadamu, oppa. Aku ingin ucapkan sesuatu
kepadamu, oppa.
Jeongmal mianhe, oppa. Jebbal, jeongmal mianhe, SungMin oppa
Aku di Paris memang untuk mendalami dunia fashion. Tapi, aku juga punya alasan lain. Mianhe, aku tidak menceritakannya kepada oppa.
Lee Hyuk-jae, kakak kandungku. Keluargaku satu-satunya. EunHyuk oppa menjodohkan aku dengan sahabatnya yang ada
disini. Namanya DongHae, Lee DongHae.
Dia sama denganku, dari Korea Selatan merantau ke Paris untuk mendalami
dunia fashion. Dia namja yang tampan, baik, pintar menari and friendly.
Aku tau EunHyuk oppa ingin yang terbaik untukku. Aku juga tau
bahwa Enhyuk oppa mengetahui hubungan
kita berdua. Dan, mungkin, karena oppa
tidak dekat dengan EunHyuk oppa. EunHyuk
oppa jadi merasa ragu dengan diri oppa
Itu bukan salahmu, oppa. Dan,
itu juga bukan salah EunHyuk oppa.
Oppa tau,kan?
Aku sangat menyayangi EunHyuk oppa. Aku sangat-sangat membutuhkan EunHyuk oppa. Aku ingin membuat EunHyuk oppa
bahagia. Aku ingin berbakti kepada EunHyuk oppa.
Mianhe, jeongmal mianhe. Aku menyetujui perjodohan itu.
Aku tau DongHae oppa
mencintaiku, sangat amat mencintaiku. Aku tau itu. Tapi, sesempurna apa pun DongHae
oppa. Entah kenapa nama yang terukir
dihatiku, hanya namamu, oppa. Hanya
sebuah nama Lee SungMin.
Jika aku disuruh memilih antara Lee SungMin atau Lee DongHae? Dalam
waktu kurang dari satu menit, aku akan menjawab…
‘Aku memilih Lee SungMin’, aku memilihmu oppa.
Dan, jika aku disuruh memilih antara Lee SungMin atau Lee Hyuk-jae?
Dalam waktu kurang dari satu detik, aku akan menjawab…
‘Aku memilih Lee Hyuk-jae’, aku memilih keluargaku.
Sarangheyo, SungMin oppa
Lee NanHae’
Aku benar-benar bingung harus
melakukan apa saat ini. Pikiranku sudah kacau saat ini. Perasaanku pun tidak
jauh berbeda.
EunHyuk….
Sebuah nama tiba-tiba muncul di
dalam pikiranku. Aku langsung menyambar HPku yang berada diatas meja kayu itu
juga. Aku cari sebuah kontak nama yang benar-benar aku butuhkan sekarang ini.
“Yeoboseyo?”.
“Ryeowook-ah, bisakah kau menyediakan tiket pesawat yang sebentar lagi
berangkat?” tanyaku to the point.
“Mworago? Waeyo, hyung?” tanya Ryeowook-orang yang aku
telepon.
“Sudahlah kau tinggal jawab saja”
bentakku menjawab.
“Akh, arra, kau datang saja ke studioku, hyung.” Dari nada suara Ryeowook, aku sudah tau bahwa ia amat
terkejut mendengar bentakanku barusan.
Aku pun berusaha membuat diriku
sadar dengan apa yang aku lakukan. Aku menarik napas dalam-dalam, mencari
ketenangan.
“Mianhe, Ryeowook-ah”
ucapku lembut. “Arra, aku akan segera
datang ke studiomu”.
“Ne, aku tunggu, hyung”.
Aku langsung menutup telepon ini.
Aku langsung menyambar jaketku yang berada diatas kasur. Dan, aku langsung
menggerakan kedua kakiku untuk segera berlari sekencang mungkin menuju studio
Ryeowook yang letaknya tidak jauh dengan letak studioku. Tapi, masalahnya letak
studioku dengan rumahku lumayan jauh. Tapi, aku tidak peduli. Aku harus
sesegera mungkin bertemu dengan Ryeowook.
----
EunHyuk POV
Aku berdiri di beranda kamarku.
Aku melihat ke atas langit yang mendung. Udara dingin hari ini benar-benar
membuatku kedinginan. Tapi, entah kenapa aku enggan untuk masuk ke dalam. Aku
benar-benar merasa nyaman disini.
Tiba-tiba aku merasa HPku
bergetar. Aku segera merogoh HPku yang berada di dalam kantong jaketku. Nomor
tidak dikenal. Siapa ya,,, pikirku.
“Hello?”. Aku berusaha seramah
mungkin, meski hatiku sedang tidak dalam keadaan tenang.
“Annyeong, EunHyuk-ah, ini
aku SungMin” cerocos seseorang di sebrang sana yang bernama SungMin.
SungMin…
Entah kenapa rasa sakit di dadaku
ini makin terasa dan makin menyiksa diriku. Sesak. Aku pegang dada kiriku yang
entah kenapa terasa sesak. Aku berusaha mengontrol napas, nada bicaraku dan
emosiku agar tidak diketahui oleh SungMin.
“Waeyo, hyung?” tanyaku.
“NanHae, dimana dia?”. Aku
benar-benar kaget mendengar pertanyaanya itu. Dadaku kini benar-benar sesak.
Aku berusaha menahan tangisku.
Aku berusaha menahan emosiku. Aku berusaha mengontrol nada bicaraku. Aku
berusaha setenang mungkin.
“NanHae, tadi sore mendatangiku
dan memberiku sebuah surat,” belum sempat aku berbicara SungMin sudah menyambar
duluan. Dan, benar-benar membuatku kaget.
“Apakah dia memberimu surat
dengan amplop merah dan bergambar dua bintang?” tanyaku. Aku sudah setengah
berhasil mengendalikan semuanya.
“Ne” jawabnya singkat.
“Datanglah kesini dan aku akan
menceritakan semuanya kepadamu” jelasku langsung menutup telepon.
Aku merosot duduk. Aku luruskan
kedua kakiku. Kedua kaki atau pun tanganku benar-benar lemas. Tubuhku pun
seperti itu. Tangan kananku masih memegang HPku, meski tanganku sudah amat
sangat lemas.
“NanHae, I miss you so
much” gumamku tanpa sadar sambil
memegang dada kiriku dan berusaha menahan airmataku yang aku tau sudah mulai
menggenangi kedua sudut mataku. Dan, entah kenapa berbagai perasaan tidak enak
mulai merasukiku.
----
SungMin POV
Pesawat yang aku tumpangi sudah
mendarat dengan sempurna disalah satu bandara Paris. Aku memang segera pergi ke
Paris dengan tiket yang sudah aku pesan kepada Ryeowook. Aku tidak mempedulikan
hujan yang mengguyur. Aku terus berlari menuju rumah EunHyuk yang lumayan jauh
dari bandara. Pabo. Memang. Bukannya
naik kendaraan, justru aku memutuskan untuk berlari. Entahlah, akhir-akhir ini
aku lebih suka berlari daripada naik kendaraan.
“Hah,” aku mengatur napasku yang
berantakan. Sudah hampir 20 menit aku berlari, tapi aku tidak kunjung sampai di
rumah EunHyuk.
Setelah 2 menit beristirahat, aku
kembali berlari dan detik demi detik aku berusaha untuk lebih cepat berlari.
‘Apa pun akan aku
lakukan. Aku tidak mau bahwa
ini sebuah kenyataan. Ini pasti
hanya sebuah mimpi’ batinku.
Meski seakan bagian dari tubuhku menolak dengan apa yang barusan aku batinkan.
Sepuluh menit sudah berlalu.
“Hah,” aku kembali mengatur
napasku yang berantakan. Namun, kali ini aku sudah berdiri tepat didepan rumah EunHyuk.
Aku acuhkan tubuhku yang benar-benar sudah basah kuyup dan napasku yang masih
memburu, aku berjalan mendekati pintu rumah itu.
TokTokTok
Aku ketuk pintu itu tiga kali.
Tidak berapa lama kemudian seseorang membukakan pintu itu. Terlihat seorang
lelaki berparas tampan, putih dan tinggi membukakan pintunya untukku. Tidak
asing sama sekali untukku. Tidak salah lagi dia adalah Lee Hyuk-jae, EunHyuk,
satu-satunya keluarga yang dimiliki NanHae.
“Ayo, masuk!”. EunHyuk mempersilahkan
aku masuk.
Aku terus membututinya yang terus
berjalan. Ternyata, dia membawaku ke lantai dua, kamarnya, tepatnya di beranda
kamarnya. Aku duduk di bangku yang memang ada di sana, sementara EunHyuk
berdiri memunggungiku. Ia melipat kedua tangannya didepan dadanya. Mencari
kehangatan, sama denganku. Aku baru sadar bahwa suhu disini benar-benar dingin.
Apalagi kini sedang hujan, dan keadaan tubuhku yang sudah basah kuyup.
“Sudah 13 hari NanHae tidak ada
di dunia ini. Dia sudah meninggal, hyung”
ujar EunHyuk, sebelum aku ingin mulai pembicaraan. Dan, dapat membuat aku
benar-benar terkejut.
‘Aku mohon katakan bahwa kau hanya bercanda, Lee Hyuk-jae’ batinku.
“Dia…”.
Susah payah dia bersuara. Kini
dia menoleh ke arahku. “Surat itu, dia menulisnya 2 hari sebelum dia meninggal”
tambahnya. Aku benar-benar terkejut mendengarnya.
“Aku mohon, ini hanya mimpikan”
gumamku tanpa sadar.
“Dia meninggal saat dia ingin
mengirimkan surat itu kepadamu secara langsung. Langsung menemuimu. Padahal,
jelas-jelas ada DongHae di belakangnya. Dia tertabrak truk. Benar-benar tidak
dapat dibayangkan” jelasnya. Kini tubuhku benar-benar tidak bertenaga.
“Dia pernah meminta izin kepadaku
untuk pulang ke Korea. Untuk bertemu dengan hyung.”
EunHyuk memberikan penjelasan lebih lanjut, membuatku berusaha sekuat tenaga
untuk mendengarkannya. “Tapi, aku tidak mengijinkannya. Karena, aku masih ragu
dengan dirimu, hyung. Mianhe”. Aku
berusaha menarik sudut bibirku agar tersenyum. Namun, itu benar-benar susah. “NanHae
tidak menunjukan kemarahannya kepadaku, meski aku tau bahwa dia sangat marah
dengan aku” tambahnya lagi. “Dan, saat DongHae mengajaknya jalan-jalan ke
taman, tidak aku sangka ternyata dia berniat pergi tanpa mengantongi izin
dariku”. EunHyuk berhenti sejenak. Menarik napasnya dalam-dalam. Aku tau dia
berusaha menahan air mata yang sudah menggenang di kedua sudut matanya. Kini
dia berdiri menghadapku. Namun, ia menundukan kepalanya. Membuat rambutnya yang
panjang menutupi wajahnya. “Dan, DongHae dengan mata kepalanya sendiri, ia
melihat NanHae kabur dari sampingnya dan berlari ketengah jalan. Lalu, sebuah
truk menabraknya. Dan, keadaan NanHae sangat mengenaskan. Aku benar-benar tidak
sanggup melihatnya. Saat aku cari surat yang ditunjukan NanHae untukmu, surat
itu menghilang entah kemana. Aku berniat ingin memberikannya kepadamu, hyung. Mianhe, surat itu tidak dapat aku temukan.”
Aku memejamkan kedua mataku. Aku
berusaha meguatkan diriku. Aku berjalan mendekati EunHyuk. Aku pegang salah
satu pundak EunHyuk.
“Dan, itu semua gara-gara kau, SungMin
hyung.”
Aku mendengar sebuah suara yang
asing untukku terdengar dari belakang tubuhku. Sontak aku membalikan badanku,
aku pun sempat melihat EunHyuk juga mengangkat wajahnya. Kini aku berdiri
bersebelahan dengannya. Aku melihat orang yang sama sekali tidak aku kenal itu
kini berdiri menghadapku dan EunHyuk.
“Jika saja NanHae tidak
mengenalmu, tentu saja NanHae tidak akan mati dengan cara seperti itu. Tentu
saja NanHae tidak akan tertabrak truk, karena ingin kabur menemuimu” bentaknya
lagi. Dan, kini aku tau siapa dia. DongHae. Lelaki yang dijodohkan dengan NanHae.
Aku melihat tangannya mengambil
sesuatu dari balik jaketnya. Aku membelalakan kedua mataku. Kini DongHae
berdiri sambil memegang pistol yang moncongnya diarahkan ke diriku.
“Seharusnya kau tidak ada saja, hyung. Pasti kini aku sudah menikah
dengan NanHae” teriaknya lagi sambil menarik pelatuk pistol itu.
Reflekku benar-benar lambat.
DOR
BRUK
Suara tembakan dan sebuah benda
jatuh terdengar bersamaan. Aku merasakan tubuhku sangat sakit, tapi bukan di
dadaku, melainkan di seluruh tubuhku. Dan, aku yakini bahwa benda jatuh itu
adalah aku. Kemudian, aku membuka kedua mataku. Aku berusaha untuk bangkit
duduk. Kedua mataku terbelalak melihat EunHyuk sudah terbaring lemah di depanku,
bersimbah darah merah yang segar. Segera, aku mendekatinya. Aku pangku
kepalanya. Aku melihat darah terus keluar dari dada kirinya yang aku yakini
tengah bersarang peluru DongHae tadi.
“EunHyuk-ah! EunHyuk-ah!”. Aku menepuk salah satu pipinya berkali-kali,
berusaha membuatnya tetap sadar. Namun, tidak ada respon sedikit pun dari
EunHyuk. Matanya masih terpejam, rapat sekali. Bibirnya pun tertutup rapat dan
terlihat sangat pucat. Namun, terlihat sebuah senyum sipul di sana.
“EunHyuk-ah.” Kini airmataku benar-benar jatuh. Jatuh membasahi wajah EunHyuk.
Aku mengangkat kepalaku, menatap
DongHae. Aku tersenyum miris melihat keadaan DongHae. Namja itu sudah terperosok duduk menghadapku, tatapannya kosong
menatap tubuh EunHyuk, tubuhnya terlihat bergetar hebat. Pistol yang tadi ia
gunakan sudah berada jauh dari sisinya. Aku yakin bahwa ia sangat menyesal.
Bagaimana tidak? EunHyuk adalah sahabatnya. Sahabat terdekatnya. Senyum mirisku
tiba-tiba hilang bersamaan kedua mataku terbelalak. Bagaimana tidak? Aku
melihat sesosok perempuan dengan pakaian serba putih. Tidak asing untukku.
Perempuan itu, perempuan yang aku cintai. Perempuan bernama lengkap Lee NanHae.
Dia tengah tersenyum kepadaku.
Perlahan, aku melihat bibirnya
bergerak mengucapkan sebuah kalimat tanpa suara. ‘Gomawo, oppa. Aku ingin terus bersama EunHyuk oppa, selamanya. Karena, aku hanya membutuhkannya.
Aku hanya membutuhkan EunHyuk oppa.’
Kemudian, aku dapat mendengar
suaranya kembali. Suara yang sangat aku rindukan. Suara NanHae. Suaranya itu terdengar
lembut di kedua kupingku.
‘Jika aku harus memilih antara Lee SungMin dan Lee DongHae, dalam waktu
kurang dari satu menit aku akan menjawab bahwa aku memilih Lee SungMin, my
lovely. Dan, jika aku harus memilih
antara Lee SungMin dan Lee Hyuk-jae, dalam waktu kurang dari satu detik aku
akan menjawab bahwa aku memilih Lee Hyuk-jae, my family’.
The End…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar